Hadits ke-lima tentang Ukuran Air Banyak atau Tidak.
وَعَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ الله عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم: إِذَا كَانَ المْاَءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلِ الخَبَثَ وَفِيْ لَفْظٍ:لمَ ْيَنْجُسْ
أَخْرَجَهُ الأَرْبَعَةُ وَصَحَّحَهُ ابْنُ خُزَيْمَةَ وَالْحَاكِمُ وابنُ حِبّانَ
Dari Abdullah bin Umar, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Apabila air itu berukuran dua qullah maka air itu tidak kotor (najis).” Dan dalam salah satu riwayat dengan lafazh: “tidak dapat ternajiskan.”
Diriwayatkan oleh Abu Dawud, Tirmidziyy, Nasaa-i, dan Ibnu Majah dan telah dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah, dan Al Hakim dan Ibnu Hibban.
Biografi Perawi Hadits
Beliau adalah Abu Abdurrahman Abdullah bin Umar bin al-Khathaab bin Nufail al-Qurasyi al-‘Adawi al-Madani salah seorang sahabat yang memiliki keistimewaan dalam ilmu dan amal. Sejak masih kecil, ia sudah masuk Islam bersama Ayahnya, Umar bin Khattab. Ia ikut hijrah (pindah) ke Kota Madinah bersama Ayahnya ketika usianya baru menginjak sepuluh tahun. Peperangan pertama yang beliau ikuti adalah perang Khandaq, karena beliau sebelum perang khondaq masih kecil.
Imam Maalik berkata: Abdullah bin Umar masih hidup setelah Nabi n wafat enampuluh tahun lamanya. Orang-orang mendatanginya untuk menerima ilmu. Beliau sangat berhati-hati dalam berfatwa dan semua yang beliau kerjakan.
Abdullah bin Umar sering bergaul dan selalu dekat dengan Rasulullah. Kecintaannya kepada Rasulullah sangat mengagumkan. Kemana pun Rasulullah pergi, ia sering turut menyertainya. Ia memang tercatat masih ipar Rasulullah, karena saudari kandungnya yang bernama Hafsah binti Umar menjadi istri Rasulullah. Ia senantiasa berusaha mencontoh sifat, kebiasaan harian dan meniru segala gerak-gerik Rasulullah, seperti cara memakai pakaian, makan, minum, bergaul, dan hal lainnya.
Atas dasar inilah, ia disegani dan dihormati banyak orang. Bahkan, ia pernah menjadi guru yang mengajari murid-muridnya yang datang dari berbagai tempat, meski tidak lama.
Satu waktu, Khalifah Utsman bin Affan pernah menawari Abdullah bin Umar untuk menjabat sebagai hakim. Tetapi ia tidak mau menerimanya. Ia lebih memilih menjadi warga biasa. Memasuki masa tua, Abdullah bin Umar mendapat cobaan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, yakni kehilangan pengelihatannya.
Sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadis –sejumlah 2.630 hadis setelah Abu Hurairah—ini kemudian wafat pada tahun 73 hijriyah dalam usia 87 tahun. Ia merupakan salah satu sahabat Rasulullah yang paling akhir yang meninggal di dzi Thuwa, Mekkah. (lihat keterangan wafat ibnu Umar di fathul Jalal wal Ikraam 1/67)
Para ulama berselisih dalam menghukumi hadits ini. Sebagian mereka menshahihkan hadits ini, diantaranya Imam Syafi’i, Ahmad, Yahya bin Ma’in, Tirmidziy, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, al-Haakim, Abu Ubaid al-Qaasim bin Sallaam, ath-Thahawiy,Daruquthni, Baihaqiy, Ibnu Mandah, Ibnu Taimiyyah, Ibnu Qayyim, Adz Dzahabi, ibnu Daqiqil’ied, al-‘Alaa’i, Abdulhaq al-Isybiliy, Al ‘Iraqiy, Ibnu Hajar, Ibnu Hazm, Ahmad Syakir, Al Albani dan lain-lain. Sebagian lainnya masih mendhaifkannya, diantaranya Ibnu Abdilbarr (lihat at-tamhid 1/329) dan Ibnul ‘Arabi (lihat Ahkaam al-Qur`an 3/1425 dan ‘Aridhatul ahwadzi 1/84).
Sebab yang menjadikan mereka melemahkan hadits ini adalah adanya kegoncangan (al-Idh-thiraab) dalam sanad dan matannya.
Diantara ulama yang menshahihkan hadits ini adalah Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Ibnu Mandzah, At Thohawi, An Nawawi, Adz Dzahabi, Ibnu Hajar, Asy Suyuthi, Ahmad Syakir, dan syeikh al-Albani.
Syaikh Al Albani berkata, “hadits ini shahih”, diriwayatkan oleh lima imam bersama Ad Darimi, At Thohawi, Ad Daruquthni, Al Hakim, Al Baihaqi, Ath Thoyalisi dengan sanad yang shahih. Ath Thohawi, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Adz Dzahabi, An Nawawi, Al Asqolaani menshahihkan hadits ini, dan sikap sebagian ulama yang mencacati hadits ini dengan idhtirob (simpang siur) tidaklah dapat diterima, sebagaimana telah saya jelaskan dalam Shahih Abi Daud (56-58). (Irwa’ al-Ghaolil 1/60 hadits no. 23).
Dari sini jelaslah kebenaran pendapat yang mensahahihkan hadits dua qullah di atas, bahkan salah satu jalannya (jalan yang pertama) atas syarat Bukhari dan Muslim, maka tidak ada jalan bagi sebagian ulama untuk melemahkannya dengan mengatakan bahwa hadits dua qullah itu mudltharib (goncang) sanad dan matannya.
Penjelasan Kosa Kata
Kata قلتين (qullataini) dengan di dhommahkan huruf Qaafnya berarti dua kullah. Kullah sendiri adalah kantong air yang besar dari tanah yang dinamakan juga dengan al-Hubb (الحُب).
Qullah disini adalah Qullah Hajar yang sudah dikenal dikalangan sahabat dan bangsa Arab. Adapun riwayat yang menentukan kullahnya dengan lafazh (قلال هجر) maka itu tidak shahih, karena termasuk riwayat Mughirah bin Saqlaab dari Muhammad bin Ishaaq. Dan Mughiroh ini seorang mungkar Hadits dan umumnya riwayatnya tanpa penguat. Ditambah lagi ia menyelisihi para perawi tsiqah dari para musrid Ibnu Ishaaq.
Yang dimaksud dengan kullah dalam hadits adalah kullah yang besar.
Nampaknya sengaja nabi tidak menentukan ukurannya untuk kemudahan manusia; karena beliau tidak menyampaikan sesuatu kepada para sahabatnya kecuali yang mereka fahami, sehingga hilanglah ketidak jelasan tersebut. Namun karena tidak ada penentuannya maka terjadi khilaf dalam ukuran nya.
Nampaknya yang rojih adalah pendapat yang menyatakan dua kullah sama dengan 500 ritl baghdadi, dan 1 ritl irak sama dengan 90 misqol. Dengan takaran kilo, dua kullah sama dengan 200 kg dan ada yang menyatakan 102 kh yang setara dengan 307 liter.
Kata لم يحمل الخبث (lam yahmil khobats), yaitu tidak dicemari oleh kotoran (najis), maknanya adalah air tidak ternajisi dengan masuknya najis ke dalamnya, jika air tersebut mencapai dua kullah.
Dikatakan juga bahwa maksudnya adalah air tersebut dapat melarutkan (menghilangkan) najis yang masuk ke dalamnya, sehingga air tersebut tidak ternajisi.
Kata الخبث (khobats) adalah najis.
Pengertian Hadits Secara Umum
Hadits ini memberikan pengertian bahwa air yang banyak – yang mencapai dua kullah atau lebih- apabila terkena najis maka ia tidak berubah menjadi najis baik berubah sifatnya atau tidak. Namun pengertian seperti ini tidak benar karena adanya ijma’ bahwa air yang terkena najis dan berubah salah satu sifatnya maka menjadi najis baik sedikit maupun banyak, seperti yang telah dijelaskan dalam penjelasan hadits Abu Saaid al-Khudri pada hadits no. 2.
Pengertian sebaliknya dari hadits ini bahwa air yang sedikit yang tidak mencapai dua kullah dengan sekedar terkena najis saja sudah menjadi najis, baik berubah atau tidak berubah salah satu sifatnya.
Pengertian ini menyelisih hukum al-manthuq (pengertian umum), karena tidak diambil keumumannya; sebabnya tidak disyaratkan hukum pengertian sebaliknya (mafhuum) menyelisihi pengertian umum (al-manthuq) dari semua sisi, bahkan cukup penyelisihannya walaupun hanya dalam satu bentuk dari bentuk keumumannya. Inilah pengertian kaedah (المفهوم لا عموم له) Pengertin sebaliknya tidak digunakan keumumannya.
Berdasarkan hal ini tidak mesti setiap yang tidak mencapai dua kullah menjadi najis. Apabila terkena najis dan berubah sifatnya maka ia menjadi najis dan bila tidak ada perubahan sifat maka tetap dalam keadaan suci.
Namun air yang dibawah dua kullah menjadi pusat perhatian agar otang tidak semau-maunya atau meremehkannya. Hal ini karena ukuran tersebut menjadi sesuatu yang mudah terpengaruh najis. Inilah pendapat imam Malik dan Ahmad serta Zhohiriyah dan syeikhul islam ibnu Taimiyah dan ibnulQayyim merojihkannya.
Imam Asy Syaukani rahimahullah mengatakan,
وأما حديث القلتين فغاية ما فيه أن ما بلغ مقدار القلتين لا يحمل الخبث فكان هذا المقدار لا يؤثر فيه الخبث في غالب الحالات فإن تغير بعض أوصافه كان نجسا بالإجماع الثابت من طرق متعددة…. وأما ما كان دون القلتين فلم يقل الشارع إنه يحمل الخبث قطعا وبتا بل مفهوم حديث القلتين يدل على أن ما دونهما قد يحمل الخبث وقد لا يحمله فإذا حمله فلا يكون ذلك إلا بتغير بعض أوصافه فيقيد مفهوم حديث القلتين بحديث التغير المجمع على قبوله والعمل به كما قيد منطوقه بذلك
“Kandungan utama hadits qullatain adalah air yang telah mencapai kadar sebanyak dua qullah, tidaklah membawa/mengandung najis, dikarenakan umumnya kadar air yang demikian tidaklah dipengaruhi oleh najis. (Namun), apabila ternyata sebagian karakter air berubah, maka statusnya menjadi najis berdasarkan ijma’ ulama yang ditetapkan dari beberapa periwayatan” Beliau melanjutkan: “Adapun air yang jumlahnya di bawah dua qullah, maka rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah memastikan bahwa air dengan kadar tersebut mengandung najis. Bahkan konteks hadits menunjukkan bahwa air dengan kadar di bawah dua qullah, terkadang membawa najis dan juga terkadang tidak membawa najis. Apabila air tersebut mengandung najis, maka statusnya tidaklah berubah menjadi najis kecuali salah satu karakternya berubah. Sehingga, konteks hadits qullatain ditaqyid (dikaitkan) dengan hadits yang telah disepakati untuk diterima dan diamalkan, yang menyatakan bahwa air yang bercampur dengan najis, statusnya menjadi najis apabila terjadi perubahan pada salah satu karakternya. (Sail al Jarar 1/55.)
Wallahu a’lam
Faedah Hadits
1. Hadits dua qullah di atas meskipun telah sah sanadnya, harus difahami bersama dengan hadits-hadits yang lain, karena hadits sebagiannya menafsirkan sebagian yang lain. Dan tidak bisa difahami menurut zhahir-nya hadits sebagaimana yang difahami oleh mazhab syafi’iy dan lain-lain. Karena kalau demikian akan bertentangan dengan sejumlah hadits shahih, seperti hadits Abu Sa’id Al Khudriy (no: 2) dan hadits Abu Hurairah yang akan datang (no: 6,7, 8). Ambil misal kalau difahami secara zhahir-nya “Apabila air itu sebanyak dua qullah tidak najis”, kemudian mazhab dua qullah ini ditanya: “Boleh atau tidak kalau seorang kencing di air yang banyaknya dua qullah?” Kalau mereka menjawab “boleh”, maka akan bertentangan dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang melarang kencing di air yang tergenang yang tidak mengalir, (no: 7 hadits Abu Hurairah) Kalau mereka menjawab “Tidak boleh”, maka akan bertentangan dengan zhahir-nya hadits dua qullah yang menjadi mazhab mereka, maka dengan sendirinya batal lah dalil dan hujjah mereka. Jawaban mereka “tidak boleh” menunjukkan bahwa mereka tidak memahami hadits dua qullah secara zhahir-nya, akan tetapi mereka memahaminya bersama hadits-hadits yang lain. Oleh karena itu mazhab yang paling berbahagia dalam masalah ini ialah mazhabnya imam Malik dan Ahmad. Bahwa air itu sedikit banyaknya tetap suci dan mensucikan selama belum berubah salah satu sifatnya yaitu baunya atau rasanya atau warnanya dengan sebab kemasukan najis, sebagaimana telah saya jelaskan sebelum ini (no: 2). Dan hadits dua qullah tidak dapat tidak harus dibawa seperti ketentuan dan ketetapan di atas, bahwa air dua qullah apabila telah berubah salah satu sifatnya dengan sebab kemasukan najis, maka dia tidak lagi suci dan mensucikan. Wallahu a’lam.
2. Jika air mencapai dua kullah, maka air tersebut dapat menghilangkan najis (dengan sendirinya) sehingga najis tidak memberi pengaruh, dan inilah makna tersurat dari hadits tersebut.
3. Dipahami dari hadits tersebut bahwa air yang kurang dari dua qullah, terkadang terkontaminasi oleh najis dengan masuknya najis sehingga air tersebut menjadi ternajisi, tetapi terkadang tidak menjadi ternajisi dengannya.
4. Ternajisi atau tidaknya air bergantung pada ada atau tidaknya zat najis di dalamnya, jika najis tersebut telah hancur dan larut, maka air tersebut tetap pada kesuciannya.
5. Air sedikit sekali terpegaruh oleh najis secara umum, sehingga seyogyanya dibuang dan berhati-hati dengan tidak menggunakannya.
Masaail
Ada beberapa masalah berkenaan dengan hadits ini. Hukum air bila tidak mencapai 2 qullah dan terkena najis apakah bisa menjadi najis atau tidak? Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini dalam dua pendapat:
1. Imam Abu Hanifah, Asy Syafi’i, dan Ahmad, serta pengikut madzhab mereka, berpendapat bahwa air yang sedikit menjadi ternajisi dengan masuknya najis, walaupun najisnya tidak mengubah sifat air. Para ulama yang mengatakan bahwa air dapat ternajisi dengan sekedar masuknya najis berdalil dengan pemahaman hadits Ibnu Umar ini. Pemahamannya menurut mereka bahwa air yang kurang dari dua kullah akan mengandung kotoran [najis]. Di dalam satu riwayat, “jika (air) mencapai dua kullah, maka tidak ada sesuatupun yang dapat menajiskannya”. Maka pemahamannya bahwa air yang kurang dari dua kullah menjadi ternajisi dengan sekedar masuknya najis, sebagaimana mereka berdalil dengan hadits tentang perintah menumpahkan air pada wadah yang dijilati oleh anjing tanpa memperdulikan tentang perubahan sifat air nya.
Hadits qullatain (dua kullah) tidak bertentangan dengan pendapat Abu Hanifah, sebab air seukuran dua kulah jika diisi dalam suatu wadah, maka air di salah satu ujung wadah tidak bergerak dengan bergeraknya ujung lainnya.
2. Imam Malik, Az Zhohiriyyah, Ibnu Taimiyah, Ibnul Qoyyim, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, ulama-ulama salafiyah di Nejd, dan para muhaqqiqin berpendapat bahwa air tidak menjadi ternajisi dengan masuknya najis selama salah satu dari tiga sifat air (rasa, warna, dan bau) tidak berubah.
Adapun dalil- dalil para ulama yang tidak memandang sebagai air yang ternajisi kecuali dengan perubahan sifat, diantaranya hadits qullataini ini, sesungguhnya makna hadits tersebut adalah air yang mencapai dua kullah tidak ternajisi dengan sekedar masuknya najis, karena air yang mencapai dua kullah tersebut tidak mengandung kotorang [najis] dan dapat menghilangkan najis-najis di dalamnya.
Adapun pemahaman hadits tersebut, tidak lazim demikian, sebab terkadang air menjadi ternajisi jika najis mengubah salah satu sifat air, dan terkadang air tidak ternajisi. Sebagaimana mereka juga berdalil dengan hadits tentang menuangkan seember air pada air kencing Arab Badui dan dalil lainnya.
Ibnul Qoyyim berkata, “yang dituntut oleh prinsip dasar syariat adalah : jika air tidak berubah sifatnya oleh najis maka air tersebut tidak menjadi ternajisi, hal itu karena air tetap dalam sifat alaminya, dan air yang seperti ini termasuk yang thoyyib (baik) dalam firman Allah, ((dan dihalalkan bagi mereka yang baik-baik)). Ini dapat diqiyaskan terhadap seluruh benda cair, jika terkena najis dan tidak mengubah warna, rasa, dan bau.
Pendapat kedua ini yang rojih. Syeikh Abdulaziz bin Baaz merojihkan pendapat ini dengan menyatakan: Yang benar air yang tidak mencapai dua kullah tidak menjadi najis kecuali bila ada perubahan sifat seperti juga yang mencapai dua kullah.
Hal ini berdasarkan pada sabda Rasulullah:
إنَّ المَاءَ طَهُورٌ لاَ يُنَجِّسُهُ شَي
Sesungguhnya air adalah thahur tidaklah sesuatu menjadikan air tersebut najis. [Hadits yang driwayatkan imam Ahmad, Abu Daud, at-tirmidzi dan an-Nasaa’i dengan sanad yang shahih dari hadits Abu Sa’id al-Khudri].
Disampaikan Nabi dua kullah untuk menunjukkan bahwa air yang lebih sedikit dari dua kullah butuh kepada klarifikasi, penelitian dan perhatian.
Wallahu a’lam (majmu’ fatawa wa Rasaail wa maqalaat mutanawwi’at 10/16-17).
Batas banyak dan sedikitnya air.
Dalam masalah ini ada dua pendapat:
A. Sedikitnya air menurut Abu Hanifah adalah air yang jika digerakkan di satu ujung wadahnya, maka ujung lainnya juga ikut bergerak.
B. Adapun sedikitnya air menurut madzhab Syafi’i dan Ahmad (Hanabilah) adalah air yang kurang dua kullah. Inilah yang shahih dengan adanya hadits Qullataian.
oleh Ustadz Kholid Syamhudi LC